Bismillah.
Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya, sebuah hadits dari Jabir radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan : Suatu saat Nu’man bin Qauqal datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut anda, apabila saya mengerjakan sholat wajib, mengharamkan yang haram, dan menghalalkan yang halal. Apakah saya bisa masuk surga?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” (HR. Muslim no. 15)
Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah besarnya semangat para sahabat radhiyallahu’anhum untuk bertanya dalam perkara agama (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah karya Syaikh al-Utsaimin, hlm. 217). Sungguh ini merupakan faidah yang sangat berharga, mengapa demikian? Karena sesungguhnya kebutuhan manusia kepada ilmu agama adalah kebutuhan yang sangat besar, dan salah satu sarana untuk meraih ilmu adalah bertanya…
Di dalam Manzhumah-nya, Syaikh Hafizh al-Hakami rahimahullah mengatakan :
Ilmu cahaya terang yang menyinari mereka
orang bahagia maupun yang bodoh di tengah kegelapan
Ilmu kehidupan tertinggi bagi para hamba
sebagaimana mereka yang bodoh mati dalam kebodohan
Di dalam bait-bait ini beliau menjelaskan tentang keutamaan ilmu, bahwa ia menjadi cahaya yang menerangi dan menjadi sumber kehidupan bagi hati. Allah menyebut wahyu yang diturunkan oleh-Nya sebagai ruh yang meghidupkan dan cahaya yang menerangi perjalanan. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah telah Kami wahyukan kepadamu ruh dari perintah Kami, tidaklah kamu mengetahui apa itu Kitab dan apa itu iman. Akan tetapi Kami jadikan ia sebagai cahaya yang dengan itu Kami berikan petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami.” (asy-Syura : 52) (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hlm. 43 dst)
Hadits di atas mengandung pelajaran bahwa cita-cita dan tujuan akhir para sahabat Nabi dalam hidup adalah bagaimana untuk bisa masuk ke dalam surga, bukan dalam rangka mengejar tumpukan harta, banyaknya anak, ataupun bermewah-mewahan dalam urusan dunia (lihat Syarh al-Arba’in, hlm. 217)
Diantara faidah paling pokok dari hadits di atas adalah bahwa menjaga amal-amal yang wajib merupakan sebab keselamatan dan masuk surga. Yang dimaksud oleh hadits ini adalah orang yang mencukupkan diri dengan amal-amal yang wajib dan tidak banyak melakukan amal-amal sunnah. Inilah yang disebut sebagai kaum muqtashid/pertengahan. Yang lebih tinggi lagi disebut kaum saabiqun bil khairat/yang berlomba dalam kebaikan karena mereka banyak melakukan amal sunnah setelah menunaikan amal-amal wajibnya. Adapun golongan ketiga disebut zhalimun linafsihi; yaitu orang yang menganiaya dirinya sendiri. Mereka ini kaum bertauhid tetapi terseret dalam perbuatan maksiat dan dosa. Ketiga golongan ini dijanjikan akan masuk surga sebagamana disebutkan di dalam surat Fathir ayat 32-33 (lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Hajuri, hlm. 152)
Dan suatu hal yang tidak diragukan bahwa tauhid adalah kewajban yang paling wajib untuk dijaga dan dipelihara oleh setiap muslim. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah, “Perkara paling agung yang Allah perintahkan adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah…” (lihat Tsalatsah al-Ushul)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama/amalan dengan hanif/bertauhid, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Semoga catatan singkat ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.